Sunday, November 14, 2010

Tanpa Tajuk......


Pada dasarnya, pengaturan rakyat kini yang dilakukan oleh para pemimpin dapat dianalogikan dengan genggaman pasir. Kekuasaan politikus terhadap rakyat ibarat tangan yang menggenggam pasir. Apabila genggaman tangan terlalu kuat maka pasir akan berjatuhan melalui cela-cela jari. Semakin kuat genggaman tangan semakin banyak pasir yang berjatuhan. Namun jika genggaman tangan terlalu longgar, pasir pun akan luput dari genggaman tangan. Maka genggaman tangan harus sesuai dengan karakter pasir. Orang dapat menerima fenomena ini tanpa perlu mengetahui penjelasan ilmiahnya.

Sama halnya dengan genggaman pasir yang terlalu kuat, fenomena pemberontakan dan protes rakyat terhadap perilaku politikus yang tercermin dalam sebuah kebijakan seringkali tidak dapat diselesaikan oleh rumus-rumus yang disediakan oleh ilmu politik namun diselesaikan dengan berbekal pemahaman yang mendalam terhadap persoalan yang sedang dihadapi rakyat. Tidak ada ukuran yang sama untuk setiap genggaman tangan terhadap pasir. Begitu pula dengan cara penyelesaian terhadap persoalan rakyat. Tidak ada rumus generik yang murah dan siap pakai yang dapat digunakan untuk menyelesaikan setiap protes rakyat terhadap pemerintahan mahupun pemimpin sesuatu kaum. Setiap cara mahal harganya karena setiap masalah memiliki karakter masing-masing.

Namun kehendak masyarakat tidak mungkin tercapai jika tidak diwujudkan dalam agenda dan kerja politis meskipun di dalamnya terdapat beberapa perbedaan cara pandang antara politikus dan rakyat dalam memaknai kerja politis. Pertama, dalam kerja politis seorang politikus memandang rakyat sebagai objek bagi pelaksanaan agenda politis, baik sebagai objek observasi maupun sebagai objek evaluasi. Dalam konteks ini partisipasi rakyat diterima sejauh tidak mengganggu tujuan utama dari agenda politis tersebut. Sedangkan bagi rakyat, politikus merupakan pelaksana tuntutan yang berasal dari keperluan masyarakat. Kedua, bagi politisi, lingkungan permasyarakatan merupakan ‘teater’ bagi aktiviti politiknya yang memperlihatkan autority dan keupayaannya. Ketika seorang politikus telah berhasil mempengaruhi rakyat dengan tindakan maka sebuah permainan dan percaturan mula direncanakan. Sedangkan bagi rakyat, arena permainan politik para politikus adalah kehidupan realnya. Dalam perspektif ini masyarakat terlihat seperti tidak resisten, pasif dan marginal. Bahkan pada tahap tertentu wacana politikus tidak hanya mampu memarginalkan wacana rakyat namun juga dapat mereproduksi budaya dan memutarbalikan nilai-nilai, kebiasaan bahkan kebenaran yang kemudian menjadi wacana dominan. Keberhasilan politikus membentuk wacana dominan berimplikasi pada pembentukan kelompok-kelompok yang memperkuat posisinya terhadap rakyat. Kelompok-kelompok yang merupakan implikasi dari kerja politis tersebut akan bertransformasi menjadi sebuah kelas dominan yang mampu mengubah relasinya dengan rakyat. Relasi yang terjadi antara politikus dengan rakyat yang semula merupakan relasi antara individu menjadi relasi kekuasaan yang melahirkan legitimasi bagi  si politikus. Dengan bantuan kelompok dominan miliknya, politikus mampu memaksa rakyat untuk memberikan legitimasi terhadap tindakannya.



Persoalannya, ketika pertumbuhan ekonomi menjadi agenda utama apakah realisasi kerja politis harus mengabaikan kondisi sosial-politik rakyat? Sebagai kerangka dalam menentukan agenda dan kerja politik,  para pekerja politik dapat berangkat dari dua corak politik yang diistilahkan oleh Anthony Giddens dengan ‘politik emansipatorik’ dan ‘politik kehidupan’ (life politics). Politik emansipatorik bertujuan untuk ‘mengurangi atau menghapuskan eksploitasi, ketidaksamaan dan penindasan’; sedangkan life politics menekankan aktualisasi-diri, kepedulian moral dan eksistensial yang telah dipinggirkan oleh modernisasi.

Oleh karena itu keperluan menjadi agenda kerja politis merupakan aktiviti yang bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan eksploitasi, ketidaksamaan dan penindasan menuju aktualisasi-diri. Ertinya, agenda dan kerja politis selalu berorientasi pada peningkatan aktualisasi dan eksistensi rakyat di sesebuah masyarakat dalam lingkungan pimpinannya. Sebetulnya rakyat perlu menjadi subjek agenda dan kerja politis sehingga rakyatlah yang menentukan arah wacana maupun tindakan yang dilakukan oleh politikus. Andai Skenario ini adalah kenyataan maka ia menguntungkan rakyat dan politikus karena di satu sisi rakyat dapat manfaat lantaran kekuasaan politikus sedangkan di sisi lain politikus mendapatkan legitimasi kekuasaan sebagai investasi sosialnya.

Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang menjadi priority pembangunan mengandungi argumentasi untuk meningkatkan ekonomi rakyat. Namun peningkatan ekonomi rakyat tidak dapat tercapai apabila tidak terdapat peningkatan peranan sosial. Di negara ini, khasnya andai dikecilkan skopnya, di Kota Belud tanggungjawab sosial diasumsikan oleh rakyat sebagai ‘pemberian’ pemimpin bukan menjadi ‘kewajiban’ pemimpin atau sebaliknya menjadi hak bagi masyarakat. Jika tanggungjawab sosial tidak menjadi sebuah agenda politis maka segala upaya yang dilakukan pemerintah atas nama kesejahteraan rakyat hanya ‘slogan’ untuk menutupi kekuasaan pemerintah terhadap rakyat. Oleh karena itu, pemerintah adalah sebuah mekanisme untuk mendistribusi kekayaan, hak dan fasiliti.

Agenda politis untuk melaungkan demokrasi akhirnya hanya berhenti pada konsep dan tujuan-tujuan untuk melebarkan kekuasaan. Maka sudah saatnya pendemokrasian diturunkan dalam agenda yang memiliki manfaat untuk rakyat......
 Dipetik Daripada Kitab2 Lama.....

No comments: