Sejarawan: Hanya Homo Wajakensis, Homo Soloensis yang Pribumi

Arif Hulwan Muzayyin | CNN Indonesia
Selasa, 17 Okt 2017 10:12 WIB
Istilah pribumi dan non pribumi tidak pas digunakan bagi penduduk Indonesia yang merupakan keturunan pendatang dari luar Nusantara.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan saat melakukan pidato pertama di depan warga. Jakarta, Senin, 16 Oktober 2017. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam berpendapat, istilah pribumi dan non pribumi sudah tidak relevan digunakan dalam mengidentifikasi penduduk di Indonesia.

"Kata pribumi itu relevan kalau disampaikan 100 tahun lalu. Pribumi (adalah) penduduk asli suatu wilayah. Di Indonesia tidak ada lagi penduduk asli karena semua pendatang," ujar Asvi, dalam pesan singkat kepada CNNIndonesia.com. Selasa (17/10).


Asvi menjelaskan, penduduk Indonesia saat ini merupakan keturunan dari pendatang dari luar Nusantara, yakni, dari Yunan, Cina, atau dari Afrika --yang juga masih menjadi bahan kajian ilmuwan dan sejawaran. Alhasil, penduduk saat ini tidak ada yang betul-betul asli Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang betul asli mungkin Homo Wajakensis dan Homo Soloensis yang hidup 40.000 tahun silam," ujar Asvi.

Homo Wajakensis adalah manusia purba yang pernah hidup di Indonesia. Fosilnya ditemukan oleh peneliti asal Belanda di Tulungagun pada 1889.

ADVERTISEMENT

Homo Soloensis sementara itu fosilnya ditemukan oleh ahli purbakala asal Belanda pada 1931 di sebuah lembah kawasan Sungai Bengawan Solo. Manusia purbakala itu diprediksi hidup 300 ribu tahun silam.

Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI itu juga menggarisbawahi tentang jasa penduduk yang disebut sebagai "non pribumi" terhadap kemerdekaan Indonesia. "Yang menentang kolonialisme bukan saja inlander (pribumi), tapi juga orang Indonesia," ucapnya.

Ia mencontohkan, Eduard Douwes Dekker. Warga Belanda ini, dengan nama samaran Multatuli, menerbitkan novel satir "Max Havelaar" (1860). Novel itu sendiri berisi tentang kritik terhadap penindasan penjajah Belanda terhadap Indonesia.


Selain itu ada pula Ernest Douwes Dekker bersama Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantara membentuk Tiga Serangkai dan mendirikan Indische Partij pada 1912. Partai pertama di era Hindia Belanda ini juga menuntut kemerdekaan Indonesia.

Asvi melanjutkan, istilah pribumi dan non pribumi ini mengingatkan pada kerusuhan 1998. Kala itu, para pemilik toko menempelkan tulisan "milik pribumi" demi menghindari penjarahan akibat sentimen anti-Cina. "Tapi ironisnya ada juga yang tetap dibakar karena tertulis 'milik plibumi'," tandas dia.

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kbbi.kemdikbud.go.di, pribumi berarti penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan; inlander.


Istilah pribumi menjadi perdebatan usai Anies berpidato untuk pertama kalinya sebagai Gubernur DKI di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (16/10). Anies dalam pidatonya berjanji akan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Jakarta.

"Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri," kata Anies.

Catatan Redaksi: Pada paragraf ke-9, redaksi menambahkan frasa 'Selain itu ada pula Ernest...'. Penambahan keterangan itu untuk membedakan sosok Eduard Douwes Dekker (penulis Max Havelaar) dengan Ernest Douwes Dekker (pendiri Indische Partij). Koreksi ini kami berikan agar tidak menimbulkan kekeliruan.
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER